Kemajuan teknologi memang membawa banyak kemudahan dan efisiensi dalam kehidupan kita. Namun demikian, walaupun pada awalnya diciptakan untuk menghasilkan manfaat positif, namun juga terdapat dampak negatifnya.

Ketika zaman bergerak maju dengan berbagai macam kecanggihan sebaliknya, kemanusiaan mengalami proses kemunduran. Ibarat pisau bermata dua. Saat ini banyak yang dalam keadaan di mana manusia mengalami “kehampaan spiritual”. Terjadi disorientasi makna kehidupan. Orang menjadi mudah stres, galau, khawatir, kalut, teralienasi, dan sebagainya.

Dengan kata lain bersamaan dengan hal tersebut manusia modern mengalami lost of soul (kegersangan ruhani), disorientasi makna, anomali (penyimpangan moral dan sosial), kekerasan, dan future shock (kejutan masa depan).

Fenomena sosial “lonely deaths” atau “kodokushi” di Jepang menyita perhatian publik. Menurut laporan National Police Agency Jepang, sebanyak 37.227 lansia meninggal dunia di rumah sendirian sampai pertengahan tahun 2024.

Mereka ditemukan meninggal sendirian, tanpa diketahui oleh siapa pun, sering kali baru ditemukan beberapa hari atau bahkan minggu setelah kematian mereka.

Kondisi ini tidak hanya terjadi di Jepang, Singapura, korea tetapi juga terjadi  di berbagai di negara-negara Barat. Long living and Lonely deaths menjadi cerminan dari isu sosial yang lebih besar, yaitu meningkatnya isolasi sosial di masyarakat modern.

Pada satu sisi hal tersebut karena kemajuan dunia Kesehatan yang  memungkinkan orang berumur lebih panjang namun di ujung kematiannya mengalami penderitaan dan kesendirian.

Kebanyakan kita hanya  lebih sering menghabiskan waktu untuk memikirkan bagaimana hidup enak, namun  lupa memikirkan bagaimana mati enak.

Sehingga, ketika malaikat maut datang menjemput tiba-tiba, kita tidak memiliki bekal yang cukup dan pantas untuk menempuh perjalanan mengarungi kehidupan setelah kematian.

Suatu hari, ada seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa alihi wa sallam

أَيُّ الْمُؤْمِنِينَ أَكْيَسُ؟

Siapakah Mukmin yang paling cerdas?

Beliau menjawab,

أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا, وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا, أُولَئِكَ الْأَكْيَاسُ

“Orang Mukmin yang paling cerdas adalah yang paling banyak mengingat mati, dan yang paling baik persiapannya menghadapai kehidupan setelah mati. Mereka itulah Mukmin yang cerdas.” (HR. Ibnu Majah).

Hadits di atas menyiratkan bahwa mati enak pun harus dipersiapkan dan bisa direncanakan. Sebagai seorang Mukmin, kita tak pernah memedulikan kapan dan di mana kita akan mati.

Yang menjadi perhatian kita, orang Mukmin, adalah bagaimana kita mati. Sebab, akhir kehidupan manusia hanya ada dua kemungkinan: Husnul Khatimah (akhir yang baik) atau Su’ul Khatimah (akhir yang buruk).

Mati Sesuai Kebiasaannya

Orang yang beriman tentu menyadari bahwa kematian akan mengikuti kebiasaan hidupnya. Mereka juga sadar bahwa kematian bisa datang kapan saja dan tidak akan pernah salah dalam hitungannya. Oleh karena itu, mereka akan menjauhi perbuatan dosa seperti kesyirikan dan maksiat.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, artinya: “Dan setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun.” (Q.S. Al-A’raf : 34).

يموت المرء على ما عاش عليه ويحشر على ما مات عليه

Cara mati seseorang ditentukan dari perilaku kehidupannya. Dan bagaimana keadaan dia saat dibangkitkan tergantung cara matinya.”

“Yamutul mar’u abdu ala ma asya alaih,  seseorang itu akan dicabut nyawanya sebagaimana kebiasaan-kebiasaan yang dia lakukan dalam kehidupan sehari hari.

Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يُبْعَثُ كُلُّ عَبْدٍ عَلَى مَا مَاتَ عَلَيْهِ

“Setiap hamba akan dibangkitkan berdasarkan kondisi meninggalnya” (HR Muslim)  

Demikian sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ibnu Katsir dan Imam as-Sa’adi serta ulama lainnya rahimahumulLaah:

أَنَّهُ مَنْ عَاشَ عَلَى شَيْءٍ مَاتَ عَلَيْهِ

“Sungguh siapa saja yang hidup di atas suatu kebiasaan tertentu, dia pun akan diwafatkan di atas kebiasaan tersebut.” (Ibnu Katsir, Tafsiir al-Qur’aan al-‘Azhiim, 2/101) 


Keadaan seseorang saat tutup usia memiliki nilai tersendiri, karena balasan baik dan buruk yang akan diterimanya tergantung pada kondisinya saat tutup usia. Sebagaimana dalam hadits yang shahih :

إنَّمَا الأَعْمَالُ بِالخَـوَاتِيْمُ رواه البخاري وغَيْرُهُ.

“Sesungguhnya amalan itu (tergantung) dengan penutupnya”. [HR Bukhari)   

يبعث كل عبد على ما مات عليه

Seorang hamba akan dibangkit dari kubur keadaannya dilihat dari bagaimana cara matinya. (Shahih Muslim)

Dan hadis riwayat Imam Ahmad Bin Hambal dari Jabir Bin Abdullah:

من مات على شيء بعثه الله عليه

 “Siapa saja yang mati dalam keadaan mengerjakan sesuatu, maka dalam kondisi demikian ia akan dibangkitkan dari kuburnya.” (Musnad Imam Ahmad)

Ketika seseorang dibangkitkan dari kuburnya sesuai dengan kondisi ketika ia mati, maka setiap perilaku kehidupan seseorang juga sangat menentukan, bagaimana ia akan diwafatkan.

Seseorang yang kebiasaan (rutinitasnya) dalam kehidupan dipenuhi dengan aktifitas2 ibadah, kemungkinan besar ia akan wafat dalam keadaan Husnul khotimah. Jangan pernah meremehkan kebaikan.

لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا

Janganlah sekali-kali engkau meremehkan kebaikan (sekecil) apapun (H.R Muslim dari Abu Dzar),

Semoga kita mempunyai banyak kebiasaan baik sehingga hal tersebut dapat mengantarkan kebaikab di akhir hayat kita.

Berita Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *